Saat memberikan in-house traning di perusahaan penghasil pulp and paper
nomor dua terbesar di dunia, yang berbasis di Kerinci, Riau, baru-baru
ini, ada peserta yang bertanya. "Pak, sebenarnya apa sih yang menjadi
dasar untuk menentukan yang mana masuk positive thinking dan mana yang
masuk negative thinking?"
Jujur, saya cukup kaget saat mendapat pertanyaan seperti ini. Bukan
karena saya tidak tahu jawabannya. Namun baru kali ini saya harus
berpikir secara mendalam mengenai esensi positive thinking dan negative
thinking. Selama ini kita selalu yakin dan percaya bahwa positive
thinking adalah pikiran yang "positif" dan "bermanfaat" bagi kita.
Sedangkan negative thinking adalah pikiran yang negatif dan merugikan
diri kita. Kita mengamini hal ini karena ini yang kita pelajari dari
berbagai pembicara terkenal, buku-buku pengembangan
diri, dan dari berbagai seminar atau workshop.
Setelah diam sejenak untuk berpikir saya lalu menjawab seperti yang saya
tulis pada paragraf di atas, "Pikiran positif adalah pikiran yang
bermanfaat sedangkan pikiran negatif adalah pikiran yang merugikan diri
kita".
Jawaban saya tampaknya sudah benar. Namun saya sadar bahwa jawaban yang
saya berikan masih kurang lengkap. Ada dorongan dalam hati saya untuk
memperdalam analisis saya terhadap jawaban yang saya berikan.
Malam hari, saat sendirian di kamar hotel, saya duduk dan memikirkan
dengan mendalam pertanyaan yang diajukan peserta tadi siang, "Sebenarnya
apa yang menjadi dasar untuk menentukan yang mana masuk positive
thinking dan mana yang masuk negative thinking?"
Saat saya merenungkan pertanyaan ini saya langsung teringat dengan
berbagai peristiwa yang telah saya alami dalam hidup saya. Saya juga
telah mempraktekkan positive thinking. Teman-teman saya juga begitu.
Saya teringat pada artikel yang saya tulis yang berjudul "Bahaya Berpikir Positif" yang sempat menjadi kontroversi.
Ternyata positive thinking saja tidak cukup untuk bisa meraih sukses.
Positive thinking dan negative thinking masih dipengaruhi oleh persepsi
dan keterbatassan pola pikir kita sendiri. Apa yang kita yakini sebagai
sesuatu yang positif ternyata belum tentu positif.
Bisa jadi, kita merasa atau yakin pikiran ini positif karena berdasar
pada asumsi atau paradigma berpikir yang salah, yang masih dipengaruhi
oleh belief system kita, yang kita yakini sebagai hal yang benar. Jadi
kita merasa telah berpikir positif atau positive thinking. Padahal belum
tentu yang kita lakukan adalah positive thinking.
Kita harus bergerak dari negative thinking ke positive thinking dan
akhirnya mencapai right thinking. Mengapa right thinking? Right thinking
adalah mengetahui siapa diri kita yang sesungguhnya, apa
tujuan hidup kita yang tertinggi, apa misi hidup kita di dunia ini, dan
menyelaraskan diri dengan hukum abadi yang mengatur alam semesta.
Right thinking juga berarti kita berpikir dengan dasar Kebenaran dan menjadi dasar dari semua proses dan level berpikir lainnya.
Right thinking berasal dari kesadaran akan kebenaran atau dari realitas yang sesungguhnya dari setiap situasi yang kita hadapi.
Right thinking membuat kita mampu melihat segala sesuatu apa adanya, tanpa terpengaruh emosi sehingga kita bersikap netral.
Mungkin sampai di sini anda merasa bingung? Ok, saya beri contoh.
Misalnya ada orang yang menghina kita. Apa yang kita lakukan? Kalau
negative thinking maka kita pasti akan marah besar. Semakin berkobar
emosi kita maka akan semakin negatif kita jadinya. Emosi yang dipicu
oleh negative thinking ibarat bensin yang disiramkan ke kobaran api.
Kita menyalahkan orang yang telah menghina kita. Pokoknya, orang ini
yang salah, titik.
Kita, biasanya, akan berusaha mengatasi hal ini dengan menggunakan
positive thinking. Apa yang kita lakukan? Kita berusaha berpikir
positif, berusaha memaafkan, berusaha mengerti, melakukan reframing,
berusaha mengendalikan emosi kita, berusaha mencari hal-hal positif dari kejadian ini.
Bagaimana dengan right thinking? Dengan right thinking kita mencari
kebenaran dari apa yang kita alami. Kita harus melampaui belief system
kita untuk bisa menggunakan right thinking. Tanyakan kepada diri kita,
"Kebenaran apa yang terkandung dalam kejadian ini?"
Saat kita mendapat jawaban dari hati nurani kita dan kita melakukan
tindakan berdasar jawaban yang kita peroleh maka pada saat itu kita
telah menggunakan right thinking.
Right thinking berarti kita menyadari sepenuhnya bahwa kita bukanlah
pikiran kita. Kita adalah yang menggerakkan pikiran kita. Kita mencipta
realita hidup kita. Kita bertanggung jawab terhadap segala
sesuatu yang kita alami, hal yang baik maupun yang buruk.
Saat seseorang menghina kita, apakah benar bahwa "kita" yang dihina?
Coba tanyakan pada diri kita secara jujur. "Sebenarnya siapa sih yang
dihina? Apakah benar saya dihina? Bagian mana dari diri saya yang merasa
dihina?"
Kalau kita menggunakan right thinking maka kita sadar bahwa sebenarnya
kita tidak dihina. Tidak ada seorang pun yang bisa menghina kita. Yang
sebenarnya terjadi adalah kita telah memberikan makna terhadap kejadian
itu, berdasar pada asumsi, persepsi, pengalaman hidup di masa lalu,
belief system, dan value kita, yang mengakibatkan munculnya emosi
negatif. Eleanor Roosevelt dengan sangat bijak berkata, "No one can make
you feel inferior without your consent."
OK, anda mungkin berkata, "Lha, tapi kita kan tetap tersinggung karena
dihina." Kalau anda tetap bersikeras dengan pendapat ini, baiklah,
ijinkan saya mengajukan satu pertanyaan pada anda, "Siapakah yang
tersinggung atau merasa terhina? Aku? Saya? Aku yang mana? Bagian mana
dari diri saya yang tersinggung? "
Kalau kita mau jujur maka yang sebenarnya "kena" adalah perasaan kita.
Pertanyaan selanjutnya adalah, "Apakah perasaan kita sama dengan diri
kita? Apakah perasaan kita adalah diri kita?" Tentu tidak. Perasaan,
sama dengan pikiran, akan selalu timbul dan tenggelam, tidak abadi, dan
sudah tentu bukan diri kita.
Sumber: Positive Thinking, Negative Thinking, & Right Thinking oleh
Adi W. Gunawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar