HOME

Memijak Seekor Merpati

Tiga orang wanita karena suatu kecelakaan naik surga, ketika tiba di sana, malaikat mengatakan pada mereka : “Di sini hanya sebuah aturan, jangan sekali-kali menginjak merpati.” Setelah yakin ketiga wanita ini telah mengerti, mereka lalu diijinkan masuk ke surga.

Namun segala pelosok surga dipenuhi merpati, begitu banyak sampai sangat mustahil kalau tidak menginjak merpati. Namun mereka berusaha keras untuk menghindarinya, tetapi wanita pertama tanpa sengaja telah menginjak merpati. Saat itu, malaikat datang dengan mebawa seorang lelaki yang belum pernah ditemui wanita ini, rupa lelaki ini sangat buruk, malaikat berkata: “Kamu telah menginjak merpati, maka akan dirantai bersama lelaki ini selama-lamanya.”


Positive Thinking, Negative Thinking, & Right Thinking

Saat memberikan in-house traning di perusahaan penghasil pulp and paper nomor dua terbesar di dunia, yang berbasis di Kerinci, Riau, baru-baru ini, ada peserta yang bertanya. "Pak, sebenarnya apa sih yang menjadi dasar untuk menentukan yang mana masuk positive thinking dan mana yang masuk negative thinking?"

Jujur, saya cukup kaget saat mendapat pertanyaan seperti ini. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya. Namun baru kali ini saya harus berpikir secara mendalam mengenai esensi positive thinking dan negative thinking. Selama ini kita selalu yakin dan percaya bahwa positive thinking adalah pikiran yang "positif" dan "bermanfaat" bagi kita. Sedangkan negative thinking adalah pikiran yang negatif dan merugikan diri kita. Kita mengamini hal ini karena ini yang kita pelajari dari berbagai pembicara terkenal, buku-buku pengembangan
diri, dan dari berbagai seminar atau workshop.

Setelah diam sejenak untuk berpikir saya lalu menjawab seperti yang saya tulis pada paragraf di atas, "Pikiran positif adalah pikiran yang bermanfaat sedangkan pikiran negatif adalah pikiran yang merugikan diri kita".

Jawaban saya tampaknya sudah benar. Namun saya sadar bahwa jawaban yang saya berikan masih kurang lengkap. Ada dorongan dalam hati saya untuk memperdalam analisis saya terhadap jawaban yang saya berikan.

Malam hari, saat sendirian di kamar hotel, saya duduk dan memikirkan dengan mendalam pertanyaan yang diajukan peserta tadi siang, "Sebenarnya apa yang menjadi dasar untuk menentukan yang mana masuk positive thinking dan mana yang masuk negative thinking?"

Saat saya merenungkan pertanyaan ini saya langsung teringat dengan berbagai peristiwa yang telah saya alami dalam hidup saya. Saya juga telah mempraktekkan positive thinking. Teman-teman saya juga begitu.
Saya teringat pada artikel yang saya tulis yang berjudul "Bahaya Berpikir Positif" yang sempat menjadi kontroversi.

Ternyata positive thinking saja tidak cukup untuk bisa meraih sukses.
Positive thinking dan negative thinking masih dipengaruhi oleh persepsi dan keterbatassan pola pikir kita sendiri. Apa yang kita yakini sebagai sesuatu yang positif ternyata belum tentu positif.
Bisa jadi, kita merasa atau yakin pikiran ini positif karena berdasar pada asumsi atau paradigma berpikir yang salah, yang masih dipengaruhi oleh belief system kita, yang kita yakini sebagai hal yang benar. Jadi kita merasa telah berpikir positif atau positive thinking. Padahal belum tentu yang kita lakukan adalah positive thinking.

Kita harus bergerak dari negative thinking ke positive thinking dan akhirnya mencapai right thinking. Mengapa right thinking? Right thinking adalah mengetahui siapa diri kita yang sesungguhnya, apa
tujuan hidup kita yang tertinggi, apa misi hidup kita di dunia ini, dan menyelaraskan diri dengan hukum abadi yang mengatur alam semesta.
Right thinking juga berarti kita berpikir dengan dasar Kebenaran dan menjadi dasar dari semua proses dan level berpikir lainnya.

Right thinking berasal dari kesadaran akan kebenaran atau dari realitas yang sesungguhnya dari setiap situasi yang kita hadapi.
Right thinking membuat kita mampu melihat segala sesuatu apa adanya, tanpa terpengaruh emosi sehingga kita bersikap netral.

Mungkin sampai di sini anda merasa bingung? Ok, saya beri contoh.
Misalnya ada orang yang menghina kita. Apa yang kita lakukan? Kalau negative thinking maka kita pasti akan marah besar. Semakin berkobar emosi kita maka akan semakin negatif kita jadinya. Emosi yang dipicu
oleh negative thinking ibarat bensin yang disiramkan ke kobaran api. Kita menyalahkan orang yang telah menghina kita. Pokoknya, orang ini yang salah, titik.

Kita, biasanya, akan berusaha mengatasi hal ini dengan menggunakan positive thinking. Apa yang kita lakukan? Kita berusaha berpikir positif, berusaha memaafkan, berusaha mengerti, melakukan reframing,
berusaha mengendalikan emosi kita, berusaha mencari hal-hal positif dari kejadian ini.

Bagaimana dengan right thinking? Dengan right thinking kita mencari kebenaran dari apa yang kita alami. Kita harus melampaui belief system kita untuk bisa menggunakan right thinking. Tanyakan kepada diri kita, "Kebenaran apa yang terkandung dalam kejadian ini?"

Saat kita mendapat jawaban dari hati nurani kita dan kita melakukan tindakan berdasar jawaban yang kita peroleh maka pada saat itu kita telah menggunakan right thinking.

Right thinking berarti kita menyadari sepenuhnya bahwa kita bukanlah pikiran kita. Kita adalah yang menggerakkan pikiran kita. Kita mencipta realita hidup kita. Kita bertanggung jawab terhadap segala
sesuatu yang kita alami, hal yang baik maupun yang buruk.

Saat seseorang menghina kita, apakah benar bahwa "kita" yang dihina?
Coba tanyakan pada diri kita secara jujur. "Sebenarnya siapa sih yang dihina? Apakah benar saya dihina? Bagian mana dari diri saya yang merasa dihina?"

Kalau kita menggunakan right thinking maka kita sadar bahwa sebenarnya kita tidak dihina. Tidak ada seorang pun yang bisa menghina kita. Yang sebenarnya terjadi adalah kita telah memberikan makna terhadap kejadian itu, berdasar pada asumsi, persepsi, pengalaman hidup di masa lalu, belief system, dan value kita, yang mengakibatkan munculnya emosi negatif. Eleanor Roosevelt dengan sangat bijak berkata, "No one can make you feel inferior without your consent."

OK, anda mungkin berkata, "Lha, tapi kita kan tetap tersinggung karena dihina." Kalau anda tetap bersikeras dengan pendapat ini, baiklah, ijinkan saya mengajukan satu pertanyaan pada anda, "Siapakah yang tersinggung atau merasa terhina? Aku? Saya? Aku yang mana? Bagian mana dari diri saya yang tersinggung? "

Kalau kita mau jujur maka yang sebenarnya "kena" adalah perasaan kita. Pertanyaan selanjutnya adalah, "Apakah perasaan kita sama dengan diri kita? Apakah perasaan kita adalah diri kita?" Tentu tidak. Perasaan, sama dengan pikiran, akan selalu timbul dan tenggelam, tidak abadi, dan sudah tentu bukan diri kita.


Sumber: Positive Thinking, Negative Thinking, & Right Thinking oleh
Adi W. Gunawan

Powered by Sinbadpoke

JENIS KECERDASAN






Kecerdasan liguistik
Adalah kecerdasan dalam mengolah kata. Ini merupakan kecerdasan para jurnalis, juru cerita, penyair dan pengacara. Org yg cerdas dalam bidang ini dapat berargumentasi, menyakinkan org, menghibur, atau mengajar dengan efektif lewat kata2 yg diucapkannya. Kadang2 mereka mahir dalam hal2 kecil, sebab mereka mampu mengingat berbagai fakta. Mereka gemar membaca, dapat menulis dengan jelas dan dpt mengartikan bahasa tulisan secara jelas.

Kecerdasan logis-matematis
Adalah kecerdasan dalam hal angka dan logika. Ini merupakan kecerdasan para ilmuwan, akuntan, dan pemrogram computer. Ciri-ciri org yg cerdas secara logis matematis mencakup kemampuan dalam penalaran, mengurutkan, berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis.

Kecerdasan spasial
Adalah kecerdasan yg mencakup kemampuan berpikir dalam gambar serta kemampuan untuk menyerap, mengubah dan menciptakan kembali berbagai macam aspek dunia visual. Org dengan tingkat kecerdasan spasial yg tinggi hamper selalu mempunyai kepekaan yg tajam terhadap detail visual dan dapat menggambarkan sesuatu dengan bgt hidup.

Kecerdasan musical
Adalah kecerdasan yg ditandai dengan kemampuan untuk menyerap, menghargai dan menciptakan irama dan melodi. Dimiliki oleh org yg peka nada, dapat menyanyikan lagu dengan tepat, dapat mengikuti irama musik.

Kecerdasan kinestetik-jasmani
Adalah kecerdasan fisik yang mencakup bakat dalam mengendalikan gerak tubuh dalam menangani benda. Memiliki keterampilan menjahit. Mereka juga menikmati kegiatan fisik seperti berjalan kaki, menari, berlari, berenang. Mereka adalah org2 yg cekatan. Indra perabanya sangat peka, tidak bisa tinggal diam, dan berminat atas segala sesuatu.

Kecerdasan antarpribadi
Adalah kemampuan untuk memahami dan bekerjasama dengan org lain. Kecerdasan ini terutama menuntut kemampuan untuk menyerap dan tanggap terhadap suasana hati dan hasrat org lain. Bisa mempunyai rasa belas kasihan dan tanggung jawab social yg besar. Mereka mempunyai kemampuan untuk memahami org lain dan melihat dunia dari sudut pandang org yg bersangkutan.

Kecerdasan intrapribadi
Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri dan percaya kepada diri sendiri. Anak-anak dengan kecerdasan intrapribadi tinggi umumnya lebih suka bermain sendiri, berkehendak kuat, dan tidak mudah dipengaruhi maupun diatur, bahkan mungkin kerap kali dicap keras kepala atau pemberontak. Padahal, yang sebenarnya diinginkan oleh anak-anak ini adalah melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri.

Kecerdasan Naturalis (Naturalist Intelligence)
Kecerdasan naturalis adalah kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam serta hidup harmoni bersama alam. Anak-anak dengan kecerdasan naturalis tinggi mungkin akan suka bermain tanah atau pasir, berani memegang anjing, kucing, atau binatang lainnya. Mereka suka bermain dan berada di alam terbuka.

Saat ini telah ditambahkan jenis kecerdasan yang ke-9 yang disebut kecerdasan Eksistensialis, yaitu kemampuan untuk memikirkan nilai-nilai yang hakiki dan arti kehidupan. Untuk alasan praktis, karena bayi belum mampu mengekspresikan jenis kecerdasan yang ke-9 tersebut, dalam tulisan ini hanya akan dibahas cara menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan delapan jenis kecerdasan di atas.

MAIN MUSIK BUAT JAGA FUNGSI OTAK






LONDON - Mempelajari alat musik di masa kecil bukan saja menjadikan seorang anak mahir bermain instrumen, tapi juga berpotensi menjaga fungsi otak berpuluh-puluh tahun kemudian
Kendati tidak lagi memainkan instrumen musik itu saat dewasa, namun pelajaran musik yang telah diterima akan membantu sang anak menjaga ketajaman otak di masa tua. Ilmuwan menemukan bahwa pensiunan yang pernah mempelajari piano, flute, klarinet atau alat musik lain memiliki hasil tes intelejensi lebih baik ketimbang mereka yang tidak pernah belajar.

"Aktivitas musikal dalam kehidupan seseorang bisa menjadi latihan kognitif yang membuat otak anda lebih sehat dan lebih mampu mengakomodasi tantangan di masa tua," jelas Dr Brenda Hanna-Pladdy dari University of Kansas Medical Center sebagaimana dikutip Telegraph, Senin (25/4/2011).

"Karena mempelajari alat musik harus diikuti dengan latihan selama bertahun-tahun, aktivitas itu bisa menciptakan koneksi alternatif yang bisa mengkompensasi penurunan tingkat kognitif di saat kita beranjak tua," lanjutnya.

Studi yang dipublikasikan oleh American Psycological Association mengamati 70 partisipan berusia 60 hingga 83 tahun dengan kondisi kesehatan baik. Mereka kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan pengalaman musikal mereka.

Hasilnya, mereka yang memiliki pengalaman musik mengerjakan tes kognitif lebih baik ketimbang mereka yang belum pernah mempelajari instrumen ataupun membaca not balok.